Subang.Cybernasa.Com - Polemik penggusuran pedagang di wilayah Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, terus menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang ingin menjadikan tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN sebagai kawasan terbuka hijau, dinilai tidak memiliki dasar kewenangan yang sah.
Menurut Dedi, kehadiran pedagang di sepanjang kawasan tersebut menyebabkan area Ciater menjadi kumuh. Oleh karena itu, ia berencana mengubah fungsi lahan eks HGU menjadi ruang terbuka hijau demi kepentingan lingkungan.
Namun, pemerhati hukum M. Irwan Yuristriarta menyebut langkah Dedi Mulyadi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Menurutnya, Gubernur Jawa Barat tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menentukan peruntukan atas tanah eks HGU yang sebelumnya dikuasai oleh PTPN, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Jika mengacu pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka, kewenangan pengelolaan lahan tersebut ada di pemerintah pusat, bukan di tingkat provinsi atau kabupaten,” ujar Irwan, Senin (28/7/2025).
Irwan menjelaskan, HGU milik PTPN atas tanah tersebut telah habis masa berlakunya sejak tahun 2002 setelah sebelumnya dua kali diperpanjang. Berdasarkan ketentuan hukum agraria, tanah tersebut seharusnya telah dikembalikan kepada negara dan didistribusikan ulang untuk kepentingan masyarakat.
“Merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 serta berbagai regulasi lainnya, jika HGU telah berakhir masa berlakunya, maka tanah tersebut wajib dikembalikan kepada negara dan dimanfaatkan untuk reforma agraria,” jelasnya.
Irwan turut mengacu pada sejumlah peraturan terkait, antara lain:
UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria
PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah
Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2016 tentang Reforma Agraria
Ia menekankan bahwa proses redistribusi tanah eks HGU merupakan wewenang pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain itu, lembaga lain yang berwenang menangani persoalan ini adalah Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN.
“Perlu digarisbawahi bahwa ini adalah tanah negara, bukan tanah milik PTPN. Ada perbedaan mendasar antara hak guna usaha dan hak milik. Ketika HGU telah habis, maka secara hukum tanah itu harus kembali kepada negara,” tegas Irwan.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah Kabupaten Subang segera membentuk tim reforma agraria yang melibatkan Kementerian ATR/BPN serta melakukan dialog terbuka dengan masyarakat terdampak.
“Implementasi redistribusi lahan harus mengikuti petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak bisa hanya berdasarkan inisiatif dari pemerintah daerah atau provinsi,” tandasnya.
Polemik ini menambah kompleksitas persoalan agraria di Indonesia, khususnya di wilayah yang memiliki sejarah panjang penguasaan lahan oleh BUMN. Masyarakat Ciater berharap pemerintah pusat turun tangan secara langsung untuk menyelesaikan sengketa ini secara adil dan transparan.( Ade Setiawan / Dedi )
Tags
umum